Minggu, 19 Juni 2011

Selamat Tinggal Dunia

Kekecewaan memang lumrah bagi manusia. Terlebih lagi orang itu memang sering membayangkan sesuatu yang amat sempurna dalam hidupnya.
Emmhhh ... mungkin arogan juga yaa??
Tapi, kalau menurutku itu semua wajar saja!
***
Pagi yang cukup cerah, ya setidaknya itulah yang dapat dilihat oleh mata seorang pemuda tanggung yang tengah termenung itu. Mmmhh, indah memang pagi ini. Tapi, menurutku tidak bagi pemuda itu. Dia terlihat begitu kebingungan di hadapan notebook hitamnya. Dia termenung sendiri di sudut kelas yang masih kosong. Ya, memang! Karena hari itu tepat hari ahad. Keadaan kampus memang cenderung sepi tiap hari libur. Terlebih pagi itu amat sangat dingin. Tapi ku rasa itu semua tak mengganggu posisi pemuda itu. Dia duduk dipinggir jendela yang terbuka, dengan pemandangan pesawahan dan tanah kosong yang cukup menyeramkan kalau dilihat malam-malam. Angin dingin itupun menusuk-nusuk pinggiran kulit arinya. Bagaikan beribu tikaman sang dewi es menghujam-hujam dadanya.
***
“Assalamu’alaikum . . .”
“Wa’alaikumsalam . . .”
“Hai, lagi apa?”
“Aku lagi ngapalin. Kamu lagi apa?”
“Lagi ngerjain tugas. Eh besok jadwal apa emang?”
“Kayaknya besok jadwalnya mustholah hadis, faroidl, sama fiqhul siroh.”
“Mmmhh gitu, tapi udah siapkan?”
“Hmmm, boro-boro siap yank,”
“Loh kok gitu?”
“Iya dha atuh gak ngerti . . hehe”
“Mmhh, ya udah atuh dicoba dulu. Masa iya gak ngerti sama sekali.”
“Iya deh aku coba . . .”
“Oke deh, semangat ya sayang . . .”
“Oke . . .”
“Ya udah, met ngapalind aja yah . . .”
“Oke boss, hehe. Makasih yaa . . .”
***
Malam berlalu di luar sana dengan cepat. Pikirannya yang mengira pacarnya itu sedang tekun menghafal untuk ebsemnya hari besok itu tak mengusiknya untuk mengecek facebook ataupun mengirim SMS kepadanya. Terlebih lagi ketika itu dia tengah sibuk mengerjakan tugas UAS-nya di kampus. Sampai waktu yang biasa ditentukan, sebagaimana telah mereka sepakati di awal. Tepat pukul 21.00 atau mungkin kurang beberapa menit. Dia mengirim SMS kepada wanita yang amat disayanginya itu.
“Tapi kok gak ada balesan ya?” Tanyanya dalam hati.
Lalu dia mencoba menelpon, tapi juga tidak diangkat.
“Hmmm, ya sudahlah, mungkin dia lelah menghafal dan langsung istirhat dan tidur. Daripada aku mengganggunya.”
Lalu dia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda itu. Hingga malam telah menelan habis kesadaran pemuda itu, dan akhirnya mengalah untuk mendekap malam. Dengan harapan, besok pagi akan mendapatkan sapa hangat kekasihnya yang malam menghilang itu.
***
Allahu akbar allahu akbar . . .
Suara adzan subuh mulai berkumandang.
“Aduh, kesiangan nih . . .”
Lalu dia segera bergegas mengambil air wudhu. Sambil berjalan dia melirik ke HP-nya, sambil berharap ada SMS yang ia harapkan sejak malam tadi. Tapi kenyataan begitu tak mendukung keinginannya itu.
“Hufhhh . . . ya sudahlah biar aku yang menyapanya usai shalah subuh.”
***
“Umi . . .”, begitulah biasa dia memanggil kekasihnya itu.
“Iya abie . . .” seperti biasa dia menjawab.
“Malem kemana aja sih?”
“Aduh, bie, maaf ya. Malem umi ketiduran. Hehe.”
“Ya udah gak apa-apa. Udah biasa kali, hehe.”
“Hehe.”
“Mmhhh.”
Lalu tak ada lagi jawaban dari SMS-nya itu.
“Hmmm, cuma gitu aja ya?” tanyanya dalam hati.
“Huffhhh, ya sudahlah mungkin dia memang sibuk.”
Kesempatan untuk melepas kerinduannya pun luput, lagi-lagi luput. Mana dari siang dia juga telah merasakan kehilangan itu. Ekh, lagi-lagi harus terulang di malam dan pagi ini. Hufhhh, kasihan dia.
***
Rasa kecewa masih terselip di hatinya. Namun timbul keinginannya untuk membuka facebook, dan melihat apa mungkin dia mengirimkan sesuatu di dindingnya. Tapi lagi-lagi dia salah. Tidak ada apapun, kecuali hanya beberapa status baru kekasihnya itu.
“Wah, banyak juga ya dia bikin status kemarin. Hmmm, mana pada seru lagi kayaknya. Banyak gitu komennya.”
Lalu dia mulai menelusur dan membaca semua status tak lupa dengan semua komen-komennya. Semakin dia menelusur, terasa dadanya semakin sesak dengan rasa kecewa dan juga kekesalan yang menelusup ke dalam hatinya yang tengah rapuh digerogoti oleh pening pikirannya.
“Ya Allah, dari kemarin malam ternyata dia masih sangat sempat untuk berkomen-komenan di facebook. Padahal untukku dia tak sempat sekedar untuk menyapa. Mana dia asyik bermanja-manja mengobrol dengan laki-laki lain. Bercanda-tawa. Malah lebih parah lagi, dia malah bersenda-gurau dengan mantannya.”
Hatinya menjadi panas dalam tengah dinginnya pagi itu. Ditambah rasa sakit dikepalanya mulai menjadi kembali.
“Ya Allah, apa mungkin memang aku telah tak ada artinya baginya. Padahal aku begitu berharap dia kelak akan menjadi wanita yang mengandung anak-anakku. Menjadi seorang ibu yang shalehah bagi anak-anakku. Ya, walaupun mash cukup lama memang. Tapi, bila seperti ini!?!!! Aakkhhhgggg!!!!!”
***
Pemuda itupun mulai merenung. Setelah berbagai gejolak emosi yang memuncak. Dia mulai berpikir. Berpikir tentang hakikat hidupnya yang fana ini. Memikirkan tentang kehidupan yang lebih luas. Merenungkan tentang realitas hidupnya yang memang sempit ini. Dengan seluruh beban dan juga kekecewaannya, terutama kepada dirinya sendiri. Dia lalu melantunkan sebuah sya’ir yang tak berbait. Yang sebenarnya lebih mirip suara orang yang menahan nyawanya di ujung ubun-ubun.
Semua ini ku latunkan untuk seseorang yang sangat ku sayangi,
Meski dia tak akan pernah mendengarnya pasti.
Ketika memang ku rasakan waktu kian dekat mengejar langkahku ini
Di saat aku merasakan rasa sakit di kepalaku terus menjadi
Ketika degub jantungku mulai melemas menipis
Aku mungkin berburuk sangka kepada Ilahi
Dengan mengatakan hidupku takkan lama lagi
Tapi semua ini telah buatku introspeksi diri
Karena tak ada salahnya Allah memanggilku sejak dini
Meski mungkin sebagian orang menyangka itu tak adil
Tapi bagiku itu sah-sah saja, aku berpikir . . .
Jika dengan umur yang panjang ini aku hanya mengisi kehampaan dunia, tanpa bisa menyalakan Nur ilahi . . .
Maka hidupku tiadalah berarti!!!
Mungkin lebih baik aku segera mati
Dan Allah akan segera menggantikanku dengan yang jauh lebih baik
Tapi terkadang aku juga berpikir . . .
Iya kalau Allah mentakdirkan seperti yang aku bayangkan ini
Nah kalau tidak?!! Apa yang mungkin akan terjadi??!!
Wallahu a’lam . . . apalah dayaku ini . . .
Biarlah rencana-Nya yang sempurna menanti,
Namun relakanlah nyawa yang tak berarti ini meninggalkan kata-katanya yang terakhir ..
Selamat tinggal dunia, senang rasanya aku sempat mengenal engkau kasih . . .
Biarlah aku dengan tenang menyambut hari esokku di negeri yang jauh dari sini,
Maafkanlah semua yang pernah membuat engkau bersedih,
Dan do’akanlah aku agar dapat melangkahkan kaki menuju kenikmatan tempat yang dijanjikan-Nya, ya surga sang Ilahi . . .

***

Tak sempat aku mendengar jeritan nafas terakhirnya. Karena ternyata sang malaikat maut begitu cepat menjemputnya. Dan akupun tak sempat mendengar riuh suara tangisan orang-orang disekelilingnya. Karena bumipun tak sempat untuk membiarkan orang-orang untuk bersedih ditinggalkan pemuda itu. Seakan bumi tak rela pemuda itu harus disiksa karena tangisan mereka. Dan memilih menyembunyikannya dari pandangan manusia seluruhnya. Dan biarlah mereka mendengar senandungnya melalui siulan angin malam yang terdingin tiap akhir Juni. Dan wanita itu?!! Kekasih sang pemuda itu?!! Entahlah ia akan sempat untuk memikirkannya atau tidak. Namun, kalupun ia tersadar, tentu semua itu telah terlambat adanya. Dan akupun tak punya banyak waktu untuk memikirkannya. Karena lubang waktu itu pun segera akan lenyap. Dan gawat juga rasanya aku berada lama-lama di dunia ini. Baiknya aku segera pulang, dan mulai menerawang kembali petualangan sang epos waktu yang masih sangat luas itu.
***
Ya Allah, jagalah diriku dari api neraka sekecil apapun. Biarkanlah aku terus mencintai Engkau dengan semua kelebihan dan kekuranganku dalam menyembah-Mu. Dan kelak jika aku mati, biarlah aku menjadi orang yang khusnul khatimah. Âmîn.

Gemuruh Angin Kebekuan,
Ahad, 19 Juni 2011



Daeryu 21

Selasa, 16 November 2010

Riuh Malam Di Balik Pohon Tua

Aku bukan mencari pagi, aku juga bukan mencari siang, bahkan aku tak kenal dengan yang bernama malam. Aku bukanlah pengejar matahari, dan juga tak menantikan gemerincik air hujan. Aku hanyalah aku... jiwa yang slalu terjaga bersama sang angin, dan mengelilingi lembah dengan berkendarakan awan. Aku sangat ingat saat yang paling menakjubkan itu, ketika itu aku tengah berkeliling-keliling di dataran ini sepanjang hari.

Lembah pertama yang ku lewati adalah di saat para iblis berlarian.
Aku melihat amat banyak kehancuran yang para iblis itu buat, mereka membangun kuil-kuil megah bagi persembahannya mereka terhadap diri mereka sendiri, dan terus menerus menjamah setapak demi setapak tubuh sang kedamaian. Mereka meninggalkan banyak kehancuran untuk mereka hancurkan keesokan harinya. Sedang para penghuni lembah itu hanya duduk menyesali sang waktu, saat ku sapa mereka, seketika petir menyambar di atas kepalaku.

Lalu aku pun meneruskan perjalananku menjauh dari lembah itu.
Lembah kedua yang ku datangi adalah di saat berkumpulnya para malaikat.
Aku melihat sesuatu yang membuat mata ini terpaksa berdecak kagum dan begitu menarik jiwaku untuk menikmati pemandangan ini sekejap. Semuanya begitu indah, begitu banyak bunga-bunga penghormatan yang bertebaran di setiap penjuru lembah itu, namun... jauh dari nalarku, ternyata bunga-bunga itu hanyalah bunga kamboja yang berguguran dan layu. Dan aku pun tak dapat melihat sesosok pun penghuni lembah itu, yang terlihat hanyalah para pendatang yang berkepala besar dan bertanduk kijang.

Aku pun serentak lari ketakutan meninggalkan lembah itu, rasanya bulu kuduk ini menarikku mejauh, mulutku pun seakan terus memaksa untuk memuntahkan dan meluapkan semua rasa jijik dan kecewa ini.
Lalu aku pun pergi dan mendapati sesuatu yang tak ku dapati di kedua lembah tadi...
Di lembah ketiga ini, aku mendengar suara-suara syahdu yang amat memikat dalam khayalku. Dan ku temui sinar-sinar biru yang saling bersahutan dan menari-nari di atas angin dengan gembira. Dan aku melihat para penghuninya berbalutkan sutra kapas yang amat indah dipandang dengan wewangian kasturi yang berbaur memenuhi seluruh udara dengan kebahagiaan. Aku menyaksikan seluruh keajaiban ini bersama sebuah pohon tua yang besar, di mana batang, daun, juga buahnya berkilauan. Pohon yang pernah mengalami berbagai jenis waktu dan kejadian, namun pada saat itu, ia amat bahagia dapat melihat semua ini. Ia pun berkata, “baru aku alami ... riuhnya malam yang seperti ini”.

My Creation, Ridwan (daeryu)
Bandung, April, 2009

Sabtu, 16 Oktober 2010

Bait Terakhir

Kau bualkan ribuan kata-kata yang berjerit
Kau susun jutaan nada-nada yang berbuih

Aku yang mengumpulkan sisa-sisa kenangan yang bercecer di sini
di setiap sudut kota yang menjadi altar memori
berterbangan melewati hutan hujan yang merinding

sedang kau terus berjerit seakan sedih
menutupi wajahmu seakan sakit
meronta meminta tolong layaknya orang terkucil
nyatanya kau selalu berdansa di saat malam mulai sepi

untukmu, ku lahirkan damai dari sepi
untukmu, ku sambung bengis dengan tangis
untukmu, ku sulam perih menjadi pelangi
untukmu, ku susun senyuman menjadi perkusi
demi menyambung puisimu yang tak berakhir...


My Creation, Ridwan (daeryu)
Bandung, Kamis, 11, Juni, 2009

Minggu, 19 September 2010

TeriakKu Untuk DiriKu

Aku terus teriakan,
“Sepi itu memberikan pelajaran berharga”
Lalu pelajaran apa yang aku dapatkan?
di saat sepi ketika engkau tak hadir menggoda
mengisi setiap ruang kosong di mataku dengan hadirnya
Apa yang ku ragukan?
maka ambillah seluruh sepinya,
rogohlah setiap kelam yang menyapa
demi mencapai pelajaran berharga yang slalu ku bilang
mundurlah dari gemerlapnya sang surya
mundurlah mengisi setiap ruang kosong di balik arwah
mundurlah dan menepi di setiap sisi yang membuatku lelah
mundurlah untuk mengambil setiap langkah yang ku buang
mundurlah untuk merasakan setiap jeritan penyesalan
lalu pergilah dari semua pahit yang ku rasa
pelankanlah setiap langkah yang ku tatap
rasakanlah semua udara yang buatku terhempas
ciumlah setiap rasa yang buatku tergoda
tapi janganlah aku duduk di atas batu hitamnya
dan lekaslah aku menarik nafas tuk segera bangkit bersua...

My Creation, Ridwan (daeryu)
Bandung, Rabu, 01, Juli, 2009

Jumat, 17 September 2010

Untaian Kesepian

Ketika aku berjalan dalam kesepian, melewati dinginnya hutan kebencian, menuju rumahku yang tlah lama ku tinggalkan demi mencari apa yang tak ada, hingga ku tinggalkan indahnya Pulau Kenyataan.
Sesampainya di rumah, aku melihat sepotong sayap tua yang tertumpuk bersama debu dan reruntuhan jiwa, iba rasanya aku melihatnya sendirian dengan keadaan seperti itu,
Sayap itu berkata padaku: “Pertemukanlah aku dengan dirinya, dia ada di pulau sebrang”.
Aku pun membawa sepotong sayap itu dengan penuh rasa iba dan ku mulai berjalan lagi meninggalkan rumahku, demi mencari apa yang sayap ini inginkan, yang kabarnya berada di Pulau Kepalsuan.
Ku relakan nafasku yang sesak tuk melewati samudra kehampaan demi menuju pulau itu, semua ku korbankan.
Sesampainya aku di pulau itu, menyambutku dua bidadari setengah iblis, mereka menyambutku dengan senyum palsu, lalu menuntunku menuju istana kepedihan.
Mereka menyuguhiku dengan hidangan kebencian, dan secangkir anggur keputus asaan, perih ku rasa, sungguh semua ini sangat menyiksaku, aku sabar menunggunya, namun potongan sayap itu tiada juga ku dapati.
Seketika aku terperanjat, datang menyapaku aroma yang tak pernah ku cium sebelumnya, mataku ini dipaksa untuk mencari tahu aroma apa itu, aku pun mengikuti arah datangnya aroma itu, namun sungguh sulit ku cari karena aroma itu langsung memenuhi setiap sudut istana dan berbaur bersama angin kebimbangan, aku pun mencari... mencari... dan mencari... lalu ku temukan sebuah lentera tua yang menyala sangat terang padahal banyak abu yang menutupinya, “aneh...” pikirku, lalu aku mengambilnya, kemudian sekilas aku melihat satu bangunan di ujung jembatan malam, semakin ku jalani semakin jelas bangunan itu terlihat, lalu ku dapati sebuah bangunan tua yang dindingnya mulai keriput, dan tiang-tiangnya mulai lumpuh. “Bangunan apa ini ?”, ucapku.
Aku pun masuk dengan membawa sepotong sayap tua dan lentera tua tadi. Dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang tak pernah aku memimpikannya dan juga tak sempat aku berkhayal tentangnya, aku merasakan betapa manisnya sebuah derita dan begitu mewanginya semerbak kesedihan yang dicampur baurkan pada nampan kebahagiaan yang tampak indah bertatahkan keindahan, ketika aku sedang menikmati seluruh aroma dan rasa itu entah mengapa aku ingin melihat ke arah puncak altar tersebut, samar terlihat sesosok sayap putih yang amat bercahaya yang turun mengahampiriku, dengan rasa heran aku pun memegang sayap itu dan ku lihat satu kata yang terukirkan padanya kata “Cinta”, lalu aku mengambil potongan sayap milikku yang seketika bercahaya dan kulihat satu kata yang terlukis padanya kata “Sayang”.
Kini... apa yang ku cari akhirnya tlah ku temukan, ya... kedua sayap ini !!! Perasaan senang dan bahagia tentu sangat bergelora dalam diriku ini. Aku pun pulang ke Pulau Kenyataan bersama kedua sayap itu, tapi bukan lagi aku yang membawa sayap itu, tetapi kedua sayap itu yang membawaku pulang.
Wahai Sang Sepi, aku pulang... dan aku berjanji tak kan lagi tinggalkanmu... Karena sekarang kita adalah satu...

My Creation, Ridwan (daeryu)
Bandung, Jum’at, 9, Januari, 2009